KPR, Cara Bodoh Membeli Rumah
Saya menyesal telah melakukannya—semoga Allah Subhanahu wa ta’ala mengampuni dosa saya—setelah saya dapat memahaminya, ternyata yang saya lakukan bertahun-tahun lalu adalah cara bodoh orang membeli rumah dengan kredit bank.
Oleh Budhi Wuryanto*
Membeli rumah dengan kredit jangka panjang dari bank ternyata cara yang bodoh. Saya tidak tahu apakah ratusan bahkan jutaan orang lainnya merasakannya juga. Ataukah malah menganggap keberuntungan, tersebab dengan pinjaman berbunga itu dapat mengatasi ketidakmampuan membeli rumah secara tunai. Jika pun keberuntungan, di baliknya ada kebodohan—karena dilakukan oleh jutaan orang, bukankah ini kebodohan yang meluas?
Semua akar persoalannya ada pada riba. Riba pula yang dijadikan solusinya. Riba, biang segala persoalan hidup manusia, telah mengakibatkan orang kebanyakan tidak mampu memiliki rumah dengan uang sendiri, dan memaksanya untuk meminjam uang dari bank. Bagi orang Islam, membeli dengan KPR bukan hanya menjeratnya dalam utang jangka panjang. Namun yang lebih buruk dari itu—dan inilah yang saya sesali—juga telah menenggelamkan umat Islam dalam kubangan lumpur bunga bank alias riba!
Riba telah mengakibatkan seluruh beban kehidupan menjadi semakin tidak tertanggungkan. Biaya dan harga apa pun menjadi berlipat ganda akibat riba. Bersamaan dengan bank memasarkan KPR, semakin banyak tanah yang dikuasai oleh para bankir melalui para developer. Akibatnya, memiliki rumah dengan uang sendiri menjadi sebuah kemewahan.
Harga rumah semakin tidak terjangkau. KPR yang semula ditujukan untuk rumah tipe 70 harus diturunkan untuk tipe 60. Turun lagi menjadi tipe 45, lalu tipe 36, dan terus mengecil menjadi tipe 21. Karena harganya makin mahal, rumah tipe 21 itu pun hanya bisa dibeli oleh sedikit orang. Selain tipenya mengecil dan harganya makin mahal, letak rumah kreditan juga makin jauh lokasinya, sehingga lebih banyak lagi keluar biaya transportasi.
Dua Kali Lebih Mahal
Rumah saya diperoleh dengan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sebuah bank konvensional. Akad dilakukan pada Oktober 1996. Jangka waktu KPR 20 tahun. Rumah kreditan itu—tipe 36 dan luasnya 91 m2—ada di timur laut Yogyakarta, sekitar 30-an menit berkendara dari kota Yogya.
Dalam brosur, developer menyebutkan uang mukanya Rp 6,8 juta. Ternyata belum termasuk pajak penjualan Rp 2,25 juta (10 persen dari plafon KPR), biaya pemasangan instalasi listrik dan air minum, premi asuransi kebakaran serta saldo minimal rekening tabungan (sekitar Rp 500 ribu) yang harus ada sebagai syarat mengambil rumah itu—saldo minimal itu dana beku yang baru bisa diambil setelah KPR lunas.
Selain harus melampirkan dokumen administratif: kopi KTP dan Kartu keluarga, slip gaji dari yang dikeluarkan tempat kerja saya, membayar biaya administratif akad kredit dan premi asuransi kebakaran, serta uang muka minimal sepertiga jumlah gaji bulanan. Hitung punya hitung, uang muka dan biaya-biaya yang harus saya bayar akhirnya mencapai hampir Rp 14 juta. Ini berarti dua kali lebih besar daripada jumlah uang muka yang tercantum dalam brosur promosi rumah kreditan itu. Saya karyawan swasta, dan rumah yang saya inginkan itu katanya tergolong rumah non-RSS. Maka, saya harus membelinya dengan KPR Paket C yang suku bunganya komersial (waktu itu sekitar 19 persen/tahun, bunga menurun). Jika terlambat mengangsur, saya harus membayar dendanya, sebesar 10 persen dari jumlah angsuran bulanan.
Angsuran KPR pada lima tahun pertama jumlahya sekitar Rp 260 ribu per bulan. Pada tahun ke-15 (2011) mengecil menjadi sekitar Rp 190 ribu. Jika angsuran bulanan dirata-rata Rp 200 ribu per bulan saja, berarti saya telah membayar sekitar Rp 36 juta (Rp 200 ribu x 180 bulan).
Plafon KPR saya Rp 22,5 juta. Ditambah uang muka dan biaya administrasi dan persyaratan KPR, berarti harga rumah itu, waktu itu, sebenarnya sekitar Rp 36,5 juta. Jadi, telah saya hitung, pada angsuran ke-180 (tahun ke-15) sebenarnya saya tinggal menambah sekitar Rp 500 ribu saja untuk menggenapi jumlah yang sama dengan harga rumah itu.
Namun kenyataannya, saya masih harus mengangsur lima tahun lagi. Dengan asumsi angsuran bulanan rata-rata Rp 150 ribu, saya masih punya utang hampir Rp 9 juta. Dengan demikian, rumah tipe 36 itu harus saya beli sekitar Rp 45,5 juta (Rp 36,5 juta + Rp 9 juta), atau sekitar dua kali jumlah KPR yang saya peroleh.
Saya tidak menyesali jumlah uang yang telah atau harus saya bayarkan lebih dari dua kali harga rumah itu dibandingkan jika saya dulu membayarnya secara kontan. Toh, rumah tetangga setipe rumah saya, pada 2011 dijual dengan harga sekitar Rp 100 juta. Yang saya sesali, kredit bank itu telah mengikat saya dengan riba jangka panjang. Selama kredit itu belum saya lunasi, selama itu pula saya akan terlibat dalam riba bunga bank!
Daripada saya harus berada dalam kubangan riba bank selama 20 tahun, satu-satunya keinginan saya adalah melunasi kredit jangka panjang berlumur riba itu. Saya ingin bebas dari riba jahanam yang tercipta akibat kebodohan saya membeli rumah dengan kredit bank jangka panjang itu.
Di hari saya melunasi utang jangka panjang dan menutup rekening tabungan, bank itu akan kehilangan seorang nasabah. Saya yakin bank itu tidak bersedih, karena hanya kehilangan satu orang nasabah. Tapi saya akan sangat bahagia karena terbebas dari riba dan utang.
Saya bertawakal. Semoga Allah Ta’ala mengabulkan doa saya untuk segera bebas dari utang jangka panjang itu.***
*Nasabah KPR bank konvensional, tinggal di Sleman.
PengusahaMuslim.com
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK